BLOG IGO BERITA KINI PINDAH KE WAVIE-NEWS.TK

Monday, March 30, 2015

(Polling utk Prov Jabodetabek) Jalan Tak Berujung untuk Meramu Satu Jabodetabek

Jalan Tak Berujung untuk Meramu Satu Jabodetabek
Jalan Tak Berujung untuk Meramu Satu Jabodetabek
Jarum jam baru menunjuk pukul 07.00 saat mentari bersinar tanpa terhalang awan. Selasa (17/3) pagi itu, delapan rangkaian kereta yang datang dari arah Serpong, Kota Tangerang Selatan, menumpahkan ratusan penumpangnya di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Seketika lantai peron tak lagi terlihat dan diganti lautan orang yang serba bergegas hendak melanjutkan perjalanan.

Saat ini, semua rute perjalanan kereta api adalah dari daerah sekitar Jakarta menuju pusat ibu kota. Meskipun ada terobosan peningkatan kualitas pelayanan kereta komuter dalam beberapa tahun terakhir, tetapi jalur pelintasan kereta api Jabodetabek tak menunjukkan perubahan mendasar meski telah beroperasi puluhan tahun.

Rute kereta api di dalam kota masih terbatas. Di samping itu, belum ada rute yang melayani perjalanan antarkota di sekitar Jakarta.

Jenis angkutan lain yang melayani antarkawasan pun terbatas. Bus angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta sekadar membawa penumpang dari kawasan mitra menuju Ibu Kota. Perjalanan warga Jabodetabek antarkawasan praktis dilayani angkutan umum reguler yang kualitasnya tidak standar. Akhirnya, kendaraan pribadilah yang menjadi andalan utama warga bermobilitas.

Yang muncul dan berkembang kemudian adalah jalan tol. Setelah Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) dibangun pada 1973, sesuai data Kementerian Pekerjaan Umum, menyusul dibangun Tol Dalam Kota, Tol Jakarta-Cikampek, dan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR), dan tol antarkawasan mitra yang mulai dirintis, seperti Depok-Antasari. Ke depan, masih banyak lagi jalan tol lain yang akan dibangun.

Namun, melewati tol tak lagi bebas hambatan. Kemacetan parah kini terus terjadi di Tol Jagorawi, Tol Dalam Kota, dan JORR. lama perjalanan sekitar 87 kilometer Serpong-Bogor via tol saja bisa 2-4 jam.

"Semua moda tetap ada susahnya. Jadi, kalau tidak perlu banget, tidak usah lintas kawasan, deh," kata Arifianti (26), mahasiswa pascasarjana di salah satu perguruan tinggi yang ditemui di Stasiun Tanah Abang, Selasa.
content

Kawasan untuk hidup

Kesulitan warga Jabodetabek dalam bertransportasi ini mau tak mau masih membuat sekat tegas antara Jakarta dan sekitarnya. Padahal, masalah transportasi hanya satu dari sederet panjang persoalan yang dihadapi warga Jabodetabek.

Jakarta, di samping sebagai pusat pemerintahan, juga merupakan pusat perekonomian nasional. Arus urbanisasi pun terus mengalir ke kota ini.

Fenomena tersebut tidak diikuti dengan penataan agraria dan ruang yang memadai sehingga perkembangan Jakarta melebar dan meluas secara horizontal ke kota sekitar, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Terwujudlah kota-kota yang tidak terstruktur dan terencana.

Data Demographia World Urban Areas edisi tahunan ke-11 yang terbit Januari 2015, menyebutkan, kawasan Jabodetabek berada di urutan kedua setelah Tokyo, Jepang, dari 28 megapolitan terbesar di dunia. Populasinya kini mendekati 30 juta jiwa. Kemunculan mega kawasan ini, menurut pelbagai studi, akan amat boros air, energi, pangan, dan mineral. Selain itu, kawasan ini akan amat rentan rusak dan dihantam bencana alam jika pembangunan tidak dikendalikan.

"Bagaimana mau berharap masalah sungai dan banjir teratasi, masalah macet terurai, kalau program di tiap daerah jalan sendiri-sendiri. Padahal, perencanaan tentang sinergi kawasan Jabodetabek sudah ada sejak 1966 dan terus diperbarui sampai sekarang," kata Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan saat Konferensi Internasional Ke-5 Forum Studi Jabodetabek di Bogor, 17 Maret.

Ia pun menantang akademisi dan pemerintah daerah untuk memperkuat kerja sama pembangunan Jabodetabek. Di tingkat pemerintah pusat, Ferry mendorong agar kelembagaan itu memiliki kekuatan hukum mengatur program terintegrasi antarkawasan.

Namun, Ferry juga memberikan "ultimatum". "Coba sekarang dalam 4-5 tahun ke depan, kita semua pemerintah daerah, pusat, akademisi, dan swasta berpikir dan bertindak nyata. Kalau masalah integrasi ini belum terjawab juga, sudahlah kita tutup saja (tidak perlu lagi ada rencana-rencana itu)," katanya.

Ferry sekali lagi menegaskan bahwa membangun sinergi Jabodetabek sebagai satu kawasan bukan bertujuan meluaskan kota Jakarta. "Tetapi, membangun kawasan untuk hidup yang layak bagi semua warga Jabodetabek. Untuk itu, harus ada keseimbangan dengan daya dukung lingkungan," katanya.

Ego politik

Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna mengatakan, sinergi Jabodetabek ini sulit tercapai karena ego tiap daerah. Sementara sentimen sosial antarwarga antardaerah, kata Yayat, lebih dipicu ketimpangan pembangunan selama ini. Jika pembangunan merata dan menyejahterakan rakyat, tentu mereka mendukung sinergi ini.

Kepala Laboratorium Program Studi Teknik Sipil Universtas Pakuan Budi Arief mengatakan, jika semua kepala daerah di Jabodetabek dan pemerintah pusat cukup punya tekad kuat, misalnya, amat mudah membangun transportasi massal.

"Untuk atasi yang saat ini sudah kejadian, tol tumbuh tapi tetap macet di mana-mana, mengapa tidak membangun jalur kereta api di sisi tiap jalan tol? Jalur KA tidak akan banyak memakan tempat. Terobosan di bidang jaringan kereta api akan terjadi, sesuatu yang seharusnya dilakukan sejak dulu," katanya.

Dekan Fakultas Pertanian IPB Ernan Rustiandi mengatakan, terkadang lelah mendorong dan menunggu terwujudnya sinergi. Akan tetapi, upaya ini harus tetap digulirkan agar cita-cita itu terwujud.

Pernyataan tegas Menteri Ferry pun belum mencerminkan kebulatan tekad pemerintah. Masih banyak kementerian lain yang perlu dirangkul. Belum lagi kepala daerah dari tiga provinsi di Jabodetabek dan lebih dari 10 wali kota/bupati yang wajib dilibatkan.

Pekerjaan besar ini akan menemukan akhir bahagianya hanya jika pemerintah di semua lini serius. Tentu saja warga pun tak boleh lelah mengkritik dan mendorong terjadinya perubahan baik itu.

Sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/2...tu.Jabodetabek

Jakarta sebagai ibukota sudah sangat semrawut, opsi memindahkan ibukota mungkin bisa opsi alternatif, tapi beresiko tinggi secara politik, ekonomi dan keuangan, investasi yg besar. Menurut ane dgn perluasan kawasan ibukota memudahkan penataan ibukota dan kota2 satelit nya. banjir lebih mudah diatur dg kontrol lsg gub jakarta di bogor. Apalagi miris melihat bekasi yg kaya tapi miskin infrastruktur jalan, berurusan mesti kebandung. begitu juga depok dan tangerang yg notabene adalah bekerja di jakarta juga.

Menjadikan Provinsi Jabodetabek Opsi yg Paling Beresiko rendah, Murah dan Mudah untuk menata Ibukota Negara dan Kota2 Satelitnya.

Bagaimana Menurut agan2 ? setuju dan tidak setuju silahkan beri alasan


Link: http://adf.ly/1CPCxs
FFFFFF

Blog Archive