BLOG IGO BERITA KINI PINDAH KE WAVIE-NEWS.TK

Friday, January 23, 2015

Rumah Pasutri Miskin di Bali ini Mirip Gubuknya Tarzan di hutan

Rumah pasutri miskin di Bali ini mirip gubuknya Tarzan di hutan

Rumah Pasutri Miskin di Bali ini Mirip Gubuknya Tarzan di hutan

Merdeka.com - Ironis memang, Bali yang begitu kaya dan terkenal di mata dunia, ternyata angka kemiskinan masih tinggi. Salah satu potret kemiskinan ada di Kabupaten Sejuk, daerah asal Jero Wacik kecil di Kota Bangli.

Keluarga miskin I Nengah Rijeng (57), asal Gebagan, Desa Kayubihi, Bangli, ini tinggal bersama istrinya Ni Wayan Patri dan anak perempuannya semata wayang. Keluarga dapat diartikan keluarga "Tarzan".

"Rumahnya di tengah rimbunan hutan di tepi jurang. Lumayan jauh dari jalan utama, harus jalan kaki," kata salah seorang warga menunjukkan arah rumah Rijeng, Jumat (23/1) di Bangli, Bali.

Dari jalan utama menuju rumah Rijeng, perlu istirahat lebih dari 5 kali setiap 15 menit perjalanan. Maklum medan jalan untuk menuju rumah Rijeng tidaklah mudah, apalagi bila dalam kondisi hujan dan becek.

Tiba di rumahnya, wartawan merdeka.com langsung disambut lolongan anjing milik Rijeng yang setia menemani keluarga ini selama lebih dari 6 tahun. "Masuk pak cari siapa, maaf begini keadaan rumah kami," kata wanita paruh baya yang ternyata istri Rijeng.

Rumah beratapkan genteng, berdindingkan gedek dan pagar bambu, serta ada beberapa bagian atap bolong ditutupi anyaman daun kelapa. Begitulah gambaran rumah Rijeng yang berjarak 10 meter di belakangnya ada sebuah jurang karang.

"Hanya di sini kami bisa tinggal, maklum kami tidak punya apa-apa," ujar Rijeng sambil mempersilakan duduk di Bale-bale berukuran 1 x 2 meter.

Sementara itu, nampak di dalam rumah yang lantainya tanah, luasnya tidak lebih dari 5 x 6 meter itu, jadi satu antara dapur dan tempat tidur beralaskan kardus ditutupi tikar usang.

Sambil menganyam sebilah bambu, ia menuturkan bahwa tidak lagi mendapat jatah Raskin dan BLT. "Nama saya dihapus, tidak terdaftar. Tidak tau apa sebabnya," ujarnya dengan bahasa Bali.

Soal kemiskinannya, katanya, pernah dari Humas Provinsi Bali yang datang. Tapi tidak jelas kabarnya lagi. "Dari provinsi bapak-bapak datang, sudah itu hilang. Mungkin kapok datang, jauh jalannya," ucapnya santai.

Untuk hidup, ia bekerja sebagai buruh tukang cangkul dengan upah Rp 10.000 per hari. Untuk tambahan, dari hasil jualan anyaman bambu, itu pun kalau laku bisa dapat Rp 100 ribu per bulan.

"Kami hanya bersyukur masih diberikan kepercayaan kepada Tuhan, bisa sembahyang di saat hari raya," ujarnya menandaskan.


Sumber Berita 

Link: http://adf.ly/wYgOU
FFFFFF

Blog Archive