BLOG IGO BERITA KINI PINDAH KE WAVIE-NEWS.TK

Tuesday, April 7, 2015

"Saya Tidak Dibayar Pun Enggak Apa-apa..."

Saya Tidak Dibayar Pun Enggak Apa-apa...
Meski usianya sudah memasuki kepala lima, Sunainah, salah satu guru di Siswa Sekolah Alternatif Nurul Jadid (Sekarnadi) di Desa Tempurejo, Kecamatan Rempurejo, Jember, Jawa Timur, masih terlihat bersemangat untuk mengajar siswanya.
JEMBER, KOMPAS.com - Meski usianya sudah memasuki kepala lima, Sunainah, salah satu guru di Siswa Sekolah Alternatif Nurul Jadid (Sekarnadi) di Desa Tempurejo, Kecamatan Rempurejo, Jember, Jawa Timur, masih terlihat bersemangat untuk mengajar siswanya yang hanya berjumlah sembilan orang.

Demi sampai di sekolah, Sunainah harus menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari rumahnya. Dia pun harus bersabar mengayuh sepeda angin miliknya. Ya, Sunainah adalah satu- satunya guru yang bertahan, sejak Sekarnadi berdiri tahun 2003 silam.

"Beliau ada sosok panutan, tanpa pamrih, dan sama sekali tidak mengharapkan imbalan apapun, yang ada di dalam diri Bu Sunainah, hanyalah ingin siswanya sukses semua," ujar Agustina Dewi Setyari (37), salah satu inisiator Sekarnadi.
Setiap bulan, Dewi menyisihkan sebagian gajinya, untuk diberikan kepada Sunainah. "Jumlahnya tidak seberapa, karena kami mampunya hanya segitu untuk diberikan Bu Sunainah, dan alhamdulilah beliau sangat ikhlas," ungkap Dosen Fakultas Sastra Universitas Jember ini.

Sementara, Sunainah pun mengatakan hal serupa. "Saya tidak dibayar pun enggak apa-apa, saya sangat senang ketemu dengan anak-anak," kata Sunainah.
Sunainah saat ini tinggal di rumah keponakannya, sebab rumah yang selama ini dia tempati adalah milik salah satu perusahaan perkebunan. "Sejak anak saya meninggal dunia, saya memutuskan untuk pindah ke rumah keponakan saya, yang sudah saya rawat sejak kecil. Mau bangun rumah sendiri tidak ada dana, jadi sementara tinggal di rumah ponakan saya," ungkap dia.
Suami Sunainah, sehari- hari hanya bekerja sebagai buruh bangunan, yang penghasilannya tidak menentu. Itu pun, baru pulang ke rumah seminggu sekali. "Malu karena kami numpang di rumah ponakan, makanya suami saya pulangnya seminggu sekali," kata Sunainah.

Meski begitu, Sunainah tetap mengaku bersyukur karena sejumlah siswanya yang sudah lulus dari Sekarnadi, sudah ada yang melanjutkan ke perguruan tinggi. "Saya ikut bangga, karena anak- anak sudah ada yang melanjutkan kuliah, saya berharap mereka akan sukses kelak," kata dia.

Saya Tidak Dibayar Pun Enggak Apa-apa...
Kegiatan belajar di Sekolah Alternatif Nurul Jadid (Sekarnadi), yang berada di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Sekolah Alternatif Nurul Jadid (Sekarnadi) adalah sebuah sekolah alternatif yang didirikan oleh sejumlah pegiat sosial dan diperuntukkan bagi anak-anak yang putus sekolah.

Semula, sekolah ini bernama Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Jadid. Namun di tahun 2003 silam, karena kepala sekolahnya pensiun, maka lambat laut jumlah murid sangat berkurang drastis. Mereka lebih memilih keluar dari sekolah, hingga akhirnya sekolah tersebut tutup.

Tidak seperti di sekolah pada umumnya, proses pembelajaran tidak dilakukan melalui pembagian kelas, sebab seluruh siswa si Sekarnadi belajar dalam satu ruangan. Tidak hanya itu saja, di dalam ruang kelas pun tidak ada bangku, kursi, dan buku pelajaran juga sangat terbatas.

Sumber  (regional.kompas.com)

Sekarnadi, Sekolah Alternatif yang Terpaksa Berpindah-pindah Tempat
JEMBER, KOMPAS.com - Ironi dunia pendidikan di republik ini masih saja terjadi. Di tengah perhatian besar Pemerintah terhadap dunia pendidikan, masih ada sekolah di Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang fasilitasnya jauh dari kata layak.

Sekolah itu ialah Sekolah Alternatif Nurul Jadid (Sekarnadi), yang berada di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo. Sekarnadi adalah sebuah sekolah alternatif yang didirikan oleh sejumlah pegiat sosial dan diperuntukkan bagi anak-anak yang putus sekolah.
Semula, sekolah ini bernama Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Jadid. Namun di tahun 2003 silam, karena kepala sekolahnya pensiun, maka lambat laut jumlah murid sangat berkurang drastis. Mereka lebih memilih keluar dari sekolah, hingga akhirnya sekolah tersebut tutup.

Tidak seperti di sekolah pada umumnya, proses pembelajaran tidak dilakukan melalui pembagian kelas, sebab seluruh siswa si Sekarnadi belajar dalam satu ruangan. Tidak hanya itu saja, di dalam ruang kelas pun tidak ada bangku, kursi, dan buku pelajaran juga sangat terbatas.
"Awalnya kami menemukan sekolah ini akan tutup, karena banyak siswanya sudah keluar. Dari situ kami kemudian menginisiasi agar siswa yang keluar, kembali ke sekolah untuk menimba ilmu dengan tanpa biaya sepeserpun," ujar Ahmad Fauzan, inisiator Sekarnadi, yang ditemui Kompas.com, beberapa waktu lalu.

Seiring berjalannya waktu, Sekarnadi terus berkembang dan siswanya terus bertambah. "Waktu itu muridnya cukup banyak, bahkan hingga sekitar 30 orang lebih," kenang Fauzan.

Melihat perkembangan yang tergolong signifikan, di Tahun 2005, Fauzan mengaku sempat mengurus izin ke dinas pendidikan setempat, agar sekolah tersebut memiliki legal formal. "Tetapi sayangnya waktu itu, syaratnya cukup berat, misalkan jumlah siswa minimal 90 orang, kemudian harus ada akta hibah tanah, dan lain sebagainya," ungkap dia.

Akhirnya, lanjut Fauzan, para pengelolanya memutuskan sekolah ini menjadi sekolah alternatif. "Karena negara sudah tidak bisa hadir, kami memutuskan untuk mandiri, yang terpenting anak- anak bisa terus sekolah dan menuntut ilmu," katanya.
Di tahun 2011 lalu, tiga ruang kelas yang ditempati Sekarnadi akhirnya roboh . Beruntung, tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu, karena sedang tidak kegiatan pembelajaran. "Di awal berdiri kami menempati gedung eks MI Nurul Jadid, namun karena kondisi gedung yang sudah tua, akhirnya roboh semua ruang kelasnya," tutur Agustina Dewi Setyari (37), salah satu inisiator Sekarnadi.

Menurut Dewi, pihaknya kemudian memutuskan untuk berpindah ke sebuah musala milik warga. "Waktu itu hanya sebentar, karena kami harus pindah lagi. Musala jadi kotor, namanya anak- anak, naik turun ke musala. Akhirnya kami berpindah di depan rumah warga," ujar Dosen Fakultas Sastra Universitas Jember ini.

Meski kegiatan belajar mengajar dilakukan di depan rumah warga, rupanya tidak mengurangi semangat belajar seluruh siswa. "Karena kondisinya darurat, kegiatan belajar menggunakan atap terpal. Alhamdulillah, anak-anak tidak mengeluh meskipun sangat terbatas fasilitasnya," ungkap dia.
Di tahun 2013 lalu, Sekarnadi mendapatkan bantuan dari pegiat sosial, dan digunakan untuk membangun ruang belajar semi permanen. "Alhamdulillah, yang penting anak-anak tidak kepanasan, dan bisa tetap belajar," kata Dewi.

Fauzan dan Dewi hanya bisa berharap, seluruh siswa yang mayoritas berasal dari kalangan tidak mampu, bisa mengubah kehidupan mereka kelak, dan meninggikan derajat orangtuanya. "Kami hanya bisa berharap, dan mendoakan mereka agar kelak mereka bangkit dan bisa membahagiakan orangtua, serta menjadi generasi penerus bangsa yang membanggakan," kata Fauzan.

Sumber  (regional.kompas.com)

Link: http://adf.ly/1DnEZq
FFFFFF

Blog Archive